Sunday, July 26, 2009

kampung, sungai n family

Thursday, September 4th 2008 at 10:05am
Ini Tentang aku. Siapa aku?.... yah sebelum dan sesudahnya aku mohon maaf dan terima kasih karena anda datang ke sini. Padahal sebenarnya sudah membuang-buang waktu anda saja. anda toh tidak akan mendapatkan apa-apa selain tulisan-tulisan bodoh saya... hahaha.
Anda belum kenal saya. Itu pasti. Maka ijinkan saya mengenalkan diri saya. Okay?
Hey.... aku datang lagi. lama tak datang pasti menjengkelkan ya... hehehe tenang bos... gak perlu itu. gak perlu kesal karena aku pergi dan "LAMA KEMBALI"... yah.. harap maklum dengan kesibukan yang banyak dan keterbatasan yang ada... maka kita perlu memilih untuk melupakan beberapa hal untuk sementara dan berharap akan teringat lagi ketika waktunya sudah tiba untuk di ingat lagi... sok teu ya....
Btw... ini masih tentang siapa aku kan?... aku seorang pria. Itu sudah pasti. dan kepastian itu datang setelah aku menikah. Oh No.... bukan berarti aku seorang dengan penyimpangan orientasi seks. Aku ini normal absolut dari sudut orientasi seks. Tapi aku gak pernah berani mengklaim aku ini pria sehingga aku menikah. karena belum ada bukti kan... tapi sudahlah gak usah dibahas terus ntar semakin membosankan.
Tadi sampai dimana?.... oh iya sampai aku seorang pria. Long time ago... i was seorang anak kecil putra pasangan ibu dan bapakku. Pastinya dong. so.. aku tinggal di sebuah desa yang sebenarnya gak terlalu jauh dari kota, tapi jadi terasa jauh karena sarana jalan yang saaaaaaaangat buruk. Bisa anda bayangkan untuk ke Puskesmas saja yang jaraknya lebih kurang 10 km harus menempuh waktu setidaknya 30 menit. jauh kan?... eh lama kan?.(Ini tentang tempat tinggalku waktu aku masih kecil dulu.). Itu belum termasuk waktu yang digunakan untuk nunggu kendaraan yang bisa makan waktu berjam-jam. hingga kalau cuma ngandalin "ANGDESCIL" (angkutan desa terpencil) terkadang ketika sampai ke puskesmas, puskesmasnya udah tutup. Waktu itu perawatnya cuman ... ntah berapa orang.. gak sampai 5 orang. dokter satu tinggalnya di kota. dan datang cuma senin dan sabtu. mungkin karena senin hari pertama masuk kerja dan hari sabtu bertepatan dengan hari pasar.
So... tidak jarang kami harus jalan kaki melewati sawah-sawah, semak, dan berbagai macam halang rintang yang sudah tersedia secara alami untuk sampai ke puskesmas. Well... gak heran kalo ketika ada perawat baru datang ke puskesmas atau mungkin dokter baru, mereka selalu menggunakan masker. Habis pasiennya pada mandi keringat. Pastinya ruang tunggu puskesmas yang kecil sesak dengan aroma keringat. Ditambah dengan bau lumpur yang datang dari kaki-kaki kasar serta bau obat yang menyengat... bisa di bayangkan deh baunya. aku aja sekarang meringis membayangkan bau yang ada saat itu. Padahal waktu itu yang bikin aku pusing bukan bau lumpur, keringat atau persenyawaan bau keringat lumpur dan obat. Yang bikin pusing aku ya.. cuma bau obat itu. Mungkin karena aku orang kampung dan obat itu dari kota... aku suda biasa mandi keringat dan main lumpur. Sedang obat ..... ihhh.. itukan barang mahal.
Btw.... yang tadi itu soal keterpencilan kampungku. Kampungku sebenarnya berada di kaki bukit yang tidak tertalu tinggi namun setiap tahun selalu terbakar ketika musim kemarau dan seketika menghijau begitu hujan pertama datang. Kampungku di belah oleh sebuah sungai yang mengalir dari bukit. Menelusuri sisi luar sebelah selatan desa, sungai kemudian menusuk masuk ke tengah desa dan terus membelah kampungku menjadi dua bagian. Meskipun pembagiannya tidak adil, gak 50-50 gitu loh.... .
Rumahku terletak sekitar 500 meter sebelah barat sungai yang biasa kami lewati bila harus ke sekolah. Masih segar dalam ingatanku bagaimana kami harus mengambil jalan memutar menjauhi sungai ini untuk ke sekolah ketika hujan mengguyur selama tujuh hari tujuh malam, atau bahkan cuma tiga hari tiga malam, sehingga air meluap dan menghanyutkan semua yang melintas di sungai. Tapi kalau hujannya sudah seminggu non stop, biasanya saya sudah tidak ke sekolah pada hari ke tiga karena sudah tidak ada lagi baju yang kering. Terpaksa tinggal di rumah saja, karena di rumahkan tidak ada larangan hanya mengenakan sarung.
Sungai ini entah apa namanya, hingga kini pun saya tidak tau. Boleh dikatakan disini adalah salah satu pusat aktifitas orang-orang di kampung kami setelah kebun, masjid, pasar dan selamatan. Di sini kami buat janji dengan para tetangga untuk bersama-sama mencuci, mandi (dalam hal mandi inii, termasuk memandikan kerbau) dan mencari ikan.
Bagi kami, sungai sudah menjadi game zone yang penuh dengan kesenangan. Percaya atau tidak, kesenangan di sana jauh lebih menyenangkan di banding game zone yang banyak di mall-mall saat ini. Kami bisa berenang, menyelam, kejar-kejaran, dan berbagai macam variasi permainan mulai dari yang save hingga yang paling menantang dapat kami lakukan di sini. sepanjang tepi sungai yang penuh dengan pepohonan pun merupakan sumber makanan yang tiada batasnya bagi kami. kami tidak pernah takut keracunan karena makan buah-buahan dari pepohonan liar. dan kami pun tak pernah menemui kasus keracunan seperti yang banyak terjadi dewasa ini.
penduduk kampung ku saat itu tidak terlalu banyak. Kalau aku hitung dari tepi sungai, sampai ke daerah paling dalam dan paling hijau dengan persawahan tempat kami biasa bermain layangan sehabis panen ada sekitar 30 kepala keluarga.
rumah-rumah kami bentuknya has rumah orang bugis. rumah panggung. ada yang tinggi, hingga kolong rumahnya biasa dijadikan tempat penggilingan jagung, tempat lesehan kala hari menjadi sangat panas, dengan anak tangga bisa mencapai 10 atau 12 anak tangga. Rumah ku sendiri juga rumah panggung di bagian depan setinggi 3 anak tangga dan kemudian di tambah 2 menjadi 5 karena kata orang-orang tua pamali punya anak tangga cuma 3.
Pada bagian belakang yang merupakan dapur di dirikan balai-balai dari bambu dengan dinding gedek buatan bapak dan atap alang-alang yang juga buatan bapak. lantainya tanah sehingga kami gak perlu mengepel setiap waktu.
Di bagian belakang rumah sebuah sumur berpagar kayu dan bambu sedalam 7 meter menjadi sumber air kami dan beberapa rumah di sekitarnya. di dekat sumur itulah sebuah gentong keramik di letakkan dikelilingi dengan dinding bambu setinggi 2 meter yang berfungsi sebagai kamar mandi. Di sekitar sumur terdapat beberapa pohon mangga, jambu, salak nangka.
Rumah kami di dirikan di atas tanah seluas lebih kurang 1 ha yang setengahnya di tanami dengan jambu mente dan setengahnya lagi untuk rumah dan bercocok tanam palawija.
Bapakku seorang guru dan juga karena pengetahuan agamanya, sering di undang untuk membaca do'a ketika warga melaksanakan selamatan. Seorang yang tenang dan tidak suka dengan ribut-ribut, selalu menasehati aku dengan kertas berisi wejangan menggunakan bahasa yang puitis. Saat itu sulit untuk aku cerna namun tanpa sadar telah membentuk perangaiku. Ibu seorang yang keras mendidik kami namun selalu menyisihkan sepotong telur goreng untuk kami jika kami belum makan meskipun dia sendiri makan dengan garam.
Aku sendiri saat itu seorang bocah yang meskipun bapaknya adalah juri tetap MTQ tingkat desa sampai kecamatan dan ibunya juara bertahan beberapa tahun berturut-turut juara MTQ Tingkat Dewasa Putri, tidak mampu belajar dari mereka sehingga harus belajar dari orang lain.
Ibu yang sangat keras dalam mengajariku mengaji mebuatku lebih banyak menangis ketimbang belajar, dan bapak yang terlalu sabar menungguku belajar membuatku bermalas-malasan.
Begitulah keadaan kampungku saat itu. Dan dari sana pulalah semua cerita-cerita bermula.

No comments: